Mesir Kuno
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mesir Kuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika. Peradaban ini terpusat di sepanjang hilir sungai Nil. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM,[1]
dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium.
Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil,
masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal
sebagai Periode Menengah. Mesir Kuno mencapai puncak kejayaannya pada
masa Kerajaan Baru.
Selanjutnya, peradaban ini mulai mengalami kemunduran. Mesir ditaklukan
oleh kekuatan-kekuatan asing pada periode akhir. Kekuasaan firaun
secara resmi dianggap berakhir pada sekitar 31 SM, ketika Kekaisaran Romawi menaklukkan dan menjadikan wilayah Mesir Ptolemeus sebagai bagian dari provinsi Romawi.[2]
Meskipun ini bukanlah pendudukan asing pertama terhadap Mesir, periode
kekuasaan Romawi menimbulkan suatu perubahan politik dan agama secara
bertahap di lembah sungai Nil, yang secara efektif menandai berakhirnya
perkembangan peradaban merdeka Mesir.
Peradaban Mesir Kuno didasari atas pengendalian keseimbangan yang
baik antara sumber daya alam dan manusia, ditandai terutama oleh:
- irigasi teratur terhadap Lembah Nil;
- pendayagunaan mineral dari lembah dan wilayah gurun di sekitarnya;
- perkembangan sistem tulisan dan sastra;
- organisasi proyek kolektif;
- perdagangan dengan wilayah Afrika Timur dan Tengah serta Mediterania Timur; serta
- kegiatan militer yang menunjukkan kekuasaan terhadap kebudayaan negara/suku bangsa tetangga pada beberapa periode berbeda.
Pengelolaan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh penguasa
sosial, politik, dan ekonomi, yang berada di bawah pengawasan sosok Firaun.[3][4]
Pencapaian-pencapaian peradaban Mesir Kuno antara lain: teknik pembangunan monumen seperti piramida, kuil, dan obelisk; pengetahuan matematika; teknik pengobatan; sistem irigasi dan agrikultur; kapal pertama yang pernah diketahui;[5] teknologi tembikar glasir bening dan kaca; seni dan arsitektur yang baru; sastra Mesir Kuno; dan traktat perdamaian pertama yang pernah diketahui.[6]
Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan arsitekturnya
banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa
hingga ke ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi
inspirasi bagi pengelana dan penulis selama berabad-abad.
Daftar isi |
Sejarah
Pada akhir masa Paleolitik, iklim Afrika Utara menjadi semakin panas dan kering. Akibatnya, penduduk di wilayah tersebut terpaksa berpusat di sepanjang sungai Nil. Sebelumnya, semenjak manusia pemburu-pengumpul mulai tinggal di wilayah tersebut pada akhir Pleistosen Tengah (sekitar 120 ribu tahun lalu), sungai Nil telah menjadi urat nadi kehidupan Mesir.[7]
Dataran banjir Nil yang subur memberikan kesempatan bagi manusia untuk
mengembangkan pertanian dan masyarakat yang terpusat dan mutakhir, yang
menjadi landasan bagi sejarah peradaban manusia.[8]
Periode Pradinasti
Pada masa pra dan awal dinasti, iklim Mesir lebih subur daripada saat ini. Sebagian wilayah Mesir ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh ungulata
yang merumput. Flora dan fauna lebih produktif dan sungai Nil menopang
kehidupan unggas-unggas air. Perburuan merupakan salah satu mata
pencaharian utama orang Mesir. Selain itu, pada periode ini, banyak
hewan yang didomestikasi.[9]
Sekitar tahun 5500 SM, suku-suku kecil yang menetap di lembah sungai
Nil telah berkembang menjadi peradaban yang menguasai pertanian dan
peternakan. Peradaban mereka juga dapat dikenal melalui tembikar dan
barang-barang pribadi, seperti sisir, gelang tangan, dan manik.
Peradaban yang terbesar di antara peradaban-peradaban awal adalah Badari di Mesir Hulu, yang dikenal akan keramik, peralatan batu, dan penggunaan tembaga.[10]
Di Mesir Utara, Badari diikuti oleh peradaban Amratia dan Gerzia,[11] yang menunjukkan beberapa pengembangan teknologi. Bukti awal menunjukkan adanya hubungan antara Gerzia dengan Kanaan dan pantai Byblos.[12]
Sementara itu, di Mesir Selatan, peradaban Naqada,
mirip dengan Badari, mulai memperluas kekuasaannya di sepanjang sungai
Nil sekitar tahun 4000 SM. Sejak masa Naqada I, orang Mesir pra dinasti
mengimpor obsidian dari Ethiopia, untuk membentuk pedang dan benda lain yang terbuat dari flake.[13]
Setelah sekitar 1000 tahun, peradaban Naqada berkembang dari masyarakat
pertanian yang kecil menjadi peradaban yang kuat. Pemimpin mereka
berkuasa penuh atas rakyat dan sumber daya alam lembah sungai Nil.[14] Setelah mendirikan pusat kekuatan di Hierakonpolis, dan lalu di Abydos, penguasa-penguasa Naqada III memperluas kekuasaan mereka ke utara.[15]
Budaya Naqada membuat berbagai macam barang-barang material - yang
menunjukkan peningkatan kekuasaan dan kekayaan dari para penguasanya -
seperti tembikar yang dicat, vas batu dekoratif yang berkualitas tinggi,
pelat kosmetik, dan perhiasan yang terbuat dari emas, lapis, dan
gading. Mereka juga mengembangkan glasir keramik yang dikenal dengan nama tembikar glasir bening.[16] Pada fase akhir masa pra dinasti, peradaban Naqada mulai menggunakan simbol-simbol tulisan yang akan berkembang menjadi sistem hieroglif untuk menulis bahasa Mesir kuno.[17]
Periode Dinasti Awal
Pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, Manetho,
mengelompokan garis keturunan firaun yang panjang dari Menes ke masanya
menjadi 30 dinasti. Sistem ini masih digunakan hingga hari ini.[19] Ia memilih untuk memulai sejarah resminya melalui raja yang bernama "Meni" (atau Menes dalam bahasa Yunani), yang dipercaya telah menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir (sekitar 3200 SM).[20]
Transisi menuju negara kesatuan sejatinya berlangsung lebih bertahap,
berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis-penulis Mesir Kuno, dan
tidak ada catatan kontemporer mengenai Menes. Beberapa ahli kini
meyakini bahwa figur "Menes" mungkin merupakan Narmer, yang digambarkan mengenakan tanda kebesaran kerajaan pada pelat Narmer yang merupakan simbol unifikasi.[21]
Pada Periode Dinasti Awal, sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat
kekuasaan mereka terhadap Mesir hilir dengan mendirikan ibukota di Memphis.
Dengan ini, firaun dapat mengawasi pekerja, pertanian, dan jalur
perdagangan ke Levant yang penting dan menguntungkan.. Peningkatan
kekuasaan dan kekayaan firaun pada periode dinasti awal dilambangkan
melalui mastaba
(makam) yang rumit dan struktur-struktur kultus kamar mayat di Abydos,
yang digunakan untuk merayakan didewakannya firaun setelah kematiannya.[22]
Institusi kerajaan yang kuat dikembangkan oleh firaun untuk mengesahkan
kekuasaan negara atas tanah, pekerja, dan sumber daya alam, yang
penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.[23]
Kerajaan Lama
Kemajuan dalam bidang arsitektur, seni, dan teknologi dibuat pada masa Kerajaan Lama.
Kemajuan ini didorong oleh meningkatnya produktivitas pertanian, yang
dimungkinkan karena pemerintahan pusat dibina dengan baik.[24] Di bawah pengarahan wazir,
pejabat-pejabat negara mengumpulkan pajak, mengatur proyek irigasi
untuk meningkatkan hasil panen, mengumpulkan petani untuk bekerja di
proyek-proyek pembangunan, dan menetapkan sistem keadilan untuk menjaga
keamanan.[25]
Dengan sumber daya surplus yang ada karena ekonomi yang produktif dan
stabil, negara mampu membiayai pembangunan proyek-proyek kolosal dan
menugaskan pembuatan karya-karya seni istimewa. Piramida yang dibangun
oleh Djoser, Khufu, dan keturunan mereka, merupakan simbol peradaban Mesir Kuno yang paling diingat.
Seiring dengan meningkatnya kepentingan pemerintah pusat, muncul golongan juru tulis (sesh[26])
dan pejabat berpendidikan, yang diberikan tanah oleh firaun sebagai
bayaran atas jasa mereka. Firaun juga memberikan tanah kepada
struktur-struktur kultus kamar mayat dan kuil-kuil lokal untuk
memastikan bahwa institusi-institusi tersebut memiliki sumber daya yang
cukup untuk memuja firaun setelah kematiannya. Pada akhir periode
Kerajaan Lama, lima abad berlangsungnya praktik-praktik feudal
pelan-pelan mengikis kekuatan ekonomi firaun. Firaun tak lagi mampu
membiayai pemerintahan terpusat yang besar.[27] Dengan berkurangnya kekuatan firaun, gubernur regional yang disebut nomark mulai menantang kekuatan firaun. Hal ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan besar antara tahun 2200 hingga 2150 SM,[28] sehingga Mesir Kuno memasuki periode kelaparan dan perselisihan selama 140 tahun yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.[29]
Periode Menengah Pertama Mesir
Setelah pemerintahan pusat Mesir runtuh pada akhir periode Kerajaan
Lama, pemerintah tidak lagi mampu mendukung atau menstabilkan ekonomi
negara. Gubernur-gubernur regional tidak dapat menggantungkan diri
kepada firaun pada masa krisis. Kekurangan pangan dan sengketa politik
meningkat menjadi kelaparan dan perang saudara berskala kecil. Meskipun
berada pada masa yang sulit, pemimpin-pemimpin lokal, yang tidak
berhutang upeti kepada firaun, menggunakan kebebasan baru mereka untuk
mengembangkan budaya di provinsi-provinsi. Setelah menguasai sumber daya
mereka sendiri, provinsi-provinsi menjadi lebih kaya. Fakta ini
dibuktikan dengan adanya pemakaman yang lebih besar dan baik di antara
kelas-kelas sosial lainnya.[30]
Dengan meningkatnya kreativitas, pengrajin-pengrajin provinsial
menerapkan dan mengadaptasi motif-motif budaya yang sebelumnya dibatasi
oleh Kerajaan Lama. Juru-juru tulis mengembangkan gaya yang melambangkan
optimisme dan keaslian periode.[31]
Bebas dari kesetiaan kepada firaun, pemimpin-pemimpin lokal mulai
berebut kekuasaan. Pada 2160 SM, penguasa-penguasa di Herakleopolis
menguasai Mesir Hilir, sementara keluarga Intef di Thebes
mengambil alih Mesir Hulu. Dengan berkembangnya kekuatan Intef, serta
perluasan kekuasaan mereka ke utara, maka pertempuran antara kedua
dinasti sudah tak terhindarkan lagi. Sekitar tahun 2055 SM, tentara
Thebes di bawah pimpinan Nebhepetre Mentuhotep II
berhasil mengalahkan penguasa Herakleopolis, menyatukan kembali kedua
negeri, dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi yang dikenal
sebagai Kerajaan Pertengahan.[32]
Kerajaan Pertengahan
Firaun Kerajaan Pertengahan berhasil mengembalikan kesejahteraan dan
kestabilan negara, sehingga mendorong kebangkitan seni, sastra, dan
proyek pembangunan monumen.[33] Mentuhotep II dan sebelas dinasti penerusnya berkuasa dari Thebes, tetapi wazir Amenemhat I, sebelum memperoleh kekuasaan pada awal dinasti ke-12 (sekitar tahun 1985 SM), memindahkan ibukota ke Itjtawy di Oasis Faiyum.[34]
Dari Itjtawy, firaun dinasti ke-12 melakukan reklamasi tanah dan
irigasi untuk meningkatkan hasil panen. Selain itu, tentara kerajaan
berhasil merebut kembali wilayah yang kaya akan emas di Nubia, sementara
pekerja-pekerja membangun struktur pertahanan di Delta Timur, yang
disebut "tembok-tembok penguasa", sebagai perlindungan dari serangan asing.[35]
Maka populasi, seni, dan agama negara mengalami perkembangan. Berbeda
dengan pandangan elitis Kerajaan Lama terhadap dewa-dewa, Kerajaan
Pertengahan mengalami peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Selain
itu, muncul sesuatu yang dapat dikatakan sebagai demokratisasi setelah
akhirat; setiap orang memiliki arwah dan dapat diterima oleh dewa-dewa
di akhirat.[36] Sastra Kerajaan Pertengahan menampilkan tema dan karakter yang canggih, yang ditulis menggunakan gaya percaya diri dan elok,[31]
sementara relief dan pahatan potret pada periode ini menampilkan
ciri-ciri kepribadian yang lembut, yang mencapai tingkat baru dalam
kesempurnaan teknis.[37]
Penguasa terakhir Kerajaan Pertengahan, Amenemhat III,
memperbolehkan pendatang dari Asia tinggal di wilayah delta untuk
memenuhi kebutuhan pekerja, terutama untuk penambangan dan pembangunan.
Penambangan dan pembangunan yang ambisius, ditambah dengan meluapnya
sungai Nil, membebani ekonomi dan mempercepat kemunduran selama masa
dinasti ke-13 dan ke-14. Semasa kemunduran, pendatang dari Asia mulai
menguasai wilayah delta, yang selanjutnya mulai berkuasa di Mesir
sebagai Hyksos.[38]
Periode Menengah Kedua dan Hyksos
Sekitar tahun 1650 SM, seiring dengan melemahnya kekuatan firaun Kerajaan Pertengahan, imigran Asia yang tinggal di kota Avaris mengambil alih kekuasaan dan memaksa pemerintah pusat mundur ke Thebes. Di sanam firaun diperlakukan sebagai vasal dan diminta untuk membayar upeti.[39]
Hyksos ("penguasa asing") meniru gaya pemerintahan Mesir dan
menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Maka elemen Mesir menyatu
dengan budaya Zaman Perunggu Pertengahan mereka.[40]
Setelah mundur, raja Thebes melihat situasinya yang terperangkap antara Hyksos di utara dan sekutu Nubia Hyksos, Kerajaan Kush,
di selatan. Setelah hampir 100 tahun mengalami masa stagnansi, pada
tahun 1555 SM, Thebes telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk
melawan Hyksos dalam konflik selama 30 tahun.[39] Firaun Seqenenre Tao II dan Kamose berhasil mengalahkan orang-orang Nubia. Pengganti Kamose, Ahmose I,
berhasil mengusir Hyksos dari Mesir. Selanjutnya, pada periode Kerajaan
Baru, kekuatan militer menjadi prioritas utama firaun agar dapat
memperluas perbatasan Mesir dan menancapkan kekuasaan atas wilayah Timur Dekat.[41]
Kerajaan Baru
Firaun-firaun Kerajaan Baru berhasil membawa kesejahteraan yang tak
tertandingi sebelumnya. Perbatasan diamankan dan hubungan diplomatik
dengan tetangga-tetangga diperkuat. Kampanye militer yang dikobarkan
oleh Tuthmosis I dan cucunya Tuthmosis III memperluas pengaruh firaun ke Suriah dan Nubia, memperkuat kesetiaan, dan membuka jalur impor komoditas yang penting seperti perunggu dan kayu.[42] Firaun-firaun Kerajaan juga memulai pembangunan besar untuk mengangkat dewa Amun, yang kultusnya berbasis di Karnak. Para firaun juga membangun monumen untuk memuliakan pencapaian mereka sendiri, baik nyata maupun imajiner. Firaun perempuan Hatshepsut menggunakan propaganda semacam itu untuk mengesahkan kekuasaannya.[43] Masa kekuasaannya yang berhasil dibuktikan oleh ekspedisi perdagangan ke Punt, kuil kamar mayat yang elegan, pasangan obelisk kolosal, dan kapel di Karnak.
Sekitar tahun 1350 SM, stabilitas Kerajaan Baru terancam ketika Amenhotep IV naik tahta dan melakukan reformasi yang radikal dan kacau. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten. Akhenaten memuja dewa matahari Aten sebagai dewa tertinggi. Ia lalu menekan pemujaan dewa-dewa lain.[44] Akhenaten juga memindahkan ibukota ke kota baru yang bernama Akhetaten (kini Amarna).
Ia tidak memperdulikan masalah luar negeri dan terlalu asyik dengan
gaya religius dan artistiknya yang baru. Setelah kematiannya, kultus
Aten segera ditinggalkan, dan firaun-firaun selanjutnya, yaitu Tutankhamun, Ay, dan Horemheb, menghapus semua penyebutan mengenai bidaah Akhenaten.[45]
Ramses II
naik tahta pada tahun 1279 SM. Ia membangun lebih banyak kuil,
mendirikan patung-patung dan obelisk, serta dikaruniai anak yang lebih
banyak daripada firaun-firaun lain dalam sejarah.[46] Sebagai seorang pemimpin militer yang berani, Ramses II memimpin tentaranya melawan bangsa Het dalam pertempuran Kadesh. Setelah bertempur hingga mencapai kebuntuan (stalemate), ia menyetujui traktat perdamaian pertama yang tercatat sekitar 1258 SM.[47]
Kekayaan menjadikan Mesir sebagai target serangan, terutama oleh orang-orang Laut dan Libya.
Tentara Mesir mampu mengusir serangan-serangan itu, namun Mesir akan
kehilangan kekuasaan atas Suriah dan Palestina. Pengaruh dari ancaman
luar diperburuk dengan masalah internal seperti korupsi, penjarahan
makam, dan kerusuhan. Pendeta-pendeta agung di kuil Amun, Thebes, mengumpulkan tanah dan kekayaan yang besar, dan kekuatan mereka memecahkan negara pada masa Periode Menengah Ketiga.[48]
Periode Menengah Ketiga
Setelah kematian firaun Ramses XI tahun 1078 SM, Smendes mengambil alih kekuasaan Mesir utara. Ia berkuasa dari kota Tanis. Sementara itu, wilayah selatan dikuasai oleh pendeta-pendeta agung Amun di Thebes, yang hanya mengakui nama Smendes saja.[49]
Pada masa ini, orang-orang Libya telah menetap di delta barat, dan
kepala-kepala suku penetap tersebut mulai meningkatkan otonomi mereka.
Pangeran-pangeran Libya mengambil alih delta di bawah pimpinan Shoshenq I
pada tahun 945 SM. Mereka lalu mendirikan dinasti Bubastite yang akan
berkuasa selama 200 tahun. Shoshenq juga mengambil alih Mesir selatan
dengan menempatkan keluarganya dalam posisi kependetaan yang penting.
Kekuasaan Libya mulai mengikis akibat munculnya dinasti saingan di Leontopolis, dan ancaman Kush di selatan. Sekitar tahun 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke arah utara. Ia berhasil menguasai Thebes dan delta.[50]
Martabat Mesir terus menurun pada Periode Menengah Ketiga. Sekutu asingnya telah jatuh kedalam pengaruh Asiria,
dan pada 700 SM, perang antara kedua negara sudah tak terhindarkan
lagi. Antara tahun 671 hingga 667 SM, bangsa Asiria mulai menyerang
Mesir. Masa kekuasaan raja Kush, Taharqa, dan penerusnya, Tanutamun, dipenuhi dengan konflik melawan Asiria.[51]
Akhirnya, bangsa Asiria berhasil memukul mundur Kush kembali ke Nubia.
Mereka juga menduduki Memphis dan menjarah kuil-kuil di Thebes.[52]
Periode Akhir
Dengan tiadanya rencana pendudukan permanen, bangsa Asiria
menyerahkan kekuasaan Mesir kepada vassal-vassal yang dikenal sebagai
raja-raja Sais dari dinasti ke-26. Pada tahun 653 SM, raja Sais Psamtik I
berhasil mengusir bangsa Asiria dengan bantuan tentara bayaran Yunani
yang direkrut untuk membentuk angkatan laut pertama Mesir. Selanjutnya,
pengaruh Yunani meluas dengan cepat. Kota Naukratis menjadi tempat tinggal orang-orang Yunani di delta.
Di bawah raja-raja Sais, Mesir mengalami kebangkitan singkat ekonomi
dan budaya. Sayangnya, pada tahun 525 SM, bangsa Persia yang dipimpin
oleh Cambyses II memulai penaklukan terhadap Mesir. Mereka berhasil menangkap firaun Psamtik III dalam pertempuran di Pelusium. Cambyses II lalu mengambil alih gelar firaun. Ia berkuasa dari kota Susa, dan menyerahkan Mesir kepada seorang satrapi.
Pemberontakan-pemberontakan meletus pada abad ke-5 SM, tetapi tidak ada
satupun yang berhasil mengusir bangsa Persia secara permanen.[53]
Setelah dikuasai Persia, Mesir digabungkan dengan Siprus dan Fenisia dalam satrapi ke-6 Kekaisaran Persia Akhemeniyah.
Periode pertama kekuasaan Persia atas Mesir, yang juga dikenal sebagai
dinasti ke-27, berakhir pada tahun 402 SM. Dari 380–343 SM, dinasti ke-30
berkuasa sebagai dinasti asli terakhir Mesir. Restorasi singkat
kekuasaan Persia, kadang-kadang dikenal sebagai dinasti ke-31, dimulai
dari tahun 343 SM. Akan tetapi, pada 332 SM, penguasa Persia, Mazaces,
menyerahkan Mesir kepada Alexander yang Agung tanpa perlawanan.[54]
Dinasti Ptolemeus
Pada tahun 332 SM, Alexander yang Agung
menaklukan Mesir dengan sedikit perlawanan dari bangsa Persia.
Pemerintahan yang didirikan oleh penerus Alexander dibuat berdasarkan
sistem Mesir, dengan ibukota di Iskandariyah. Kota tersebut menunjukkan kekuatan dan martabat kekuasaan Yunani, dan menjadi pusat pembelajaran dan budaya yang berpusat di Perpustakaan Iskandariyah.[55] Mercusuar Iskandariyah
membantu navigasi kapal-kapal yang berdagang di kota tersebut, terutama
setelah penguasa dinasti Ptolemeus memberdayakan perdagangan dan
usaha-usaha, seperti produksi papirus.[56]
Budaya Yunani
tidak menggantikan budaya asli Mesir. Penguasa dinasti Ptolemeus
mendukung tradisi lokal untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka membangun
kuil-kuil baru dalam gaya Mesir, mendukung kultus tradisional, dan
menggambarkan diri mereka sebagai firaun. Beberapa tradisi akhirnya
bergabung. Dewa-dewa Yunani dan Mesir disinkretkan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno
juga memengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus
berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi
berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga,
dan massa di Iskandariyah yang terbentuk setelah kematian Ptolemeus IV.[57] Lebih lagi, bangsa Romawi
memerlukan gandum dari Mesir, dan mereka tertarik akan situasi politik
di negeri Mesir. Pemberontakan yang terus berlanjut, politikus yang
ambisius, serta musuh yang kuat di Suriah membuat kondisi menjadi tidak
stabil, sehingga bangsa Romawi mengirim tentaranya untuk mengamankan
Mesir sebagai bagian dari kekaisarannya.[58]
Dominasi Romawi
Mesir menjadi provinsi Kekaisaran Romawi pada tahun 30 SM setelah Oktavianus berhasil mengalahkan Mark Antony dan Ratu Cleopatra VII dalam Pertempuran Actium. Romawi sangat memerlukan gandum dari Mesir, dan legiun Romawi, di bawah kekuasaan praefectus yang ditunjuk oleh kaisar, memadamkan pemberontakan, memungut pajak yang besar, serta mencegah serangan bandit.[59]
Meskipun Romawi berlaku lebih kasar daripada Yunani, beberapa
tradisi, seperti mumifikasi dan pemujaan dewa-dewa, tetap berlanjut.[60]
Seni potret mumi berkembang, dan beberapa kaisar Romawi menggambarkan
diri mereka sebagai firaun (meskipun tidak sejauh penguasa-penguasa
dinasti Ptolemeus). Pemerintahan lokal diurus dengan gaya Romawi dan
tertutup dari gaya Mesir asli.[60]
Pada pertengahan abad pertama, Kekristenan
mulai mengakar di Iskandariyah. Agama tersebut dipandang sebagai kultus
lain yang akan diterima. Akan tetapi, Kekristenan pada akhirnya
dianggap sebagai agama yang ingin menggantikan paganisme
dan mengancam tradisi agama lokal, sehingga muncul penyerangan terhadap
orang-orang Kristen. Penyerangan terhadap orang Kristen memuncak pada
masa pembersihan Diokletianus yang dimulai tahun 303. Akan tetapi, Kristen berhasil menang.[61] Pada tahun 391, kaisar Kristen Theodosius memperkenalkan undang-undang yang melarang ritus-ritus pagan dan menutup kuil-kuil.[62] Iskandariyah menjadi latar kerusuhan anti-pagan yang besar.[63] Akibatnya, budaya pagan Mesir terus mengalami kejatuhan. Meskipun penduduk asli masih mampu menuturkan bahasa mereka, kemampuan untuk membaca hieroglif
terus berkurang karena melemahnya peran pendeta kuil Mesir. Sementara
itu, kuil-kuil dialihfungsikan menjadi gereja, atau ditinggalkan begitu
saja.[64]
Pemerintahan dan ekonomi
Administrasi dan perdagangan
Firaun
adalah raja yang berkuasa penuh atas negara—setidaknya dalam teori—dan
memegang kendali atas semua tanah dan sumber dayanya. Firaun juga
merupakan komandan militer tertinggi dan kepala pemerintahan, yang
bergantung pada birokrasi pejabat untuk mengurusi masalah-masalahnya.
Yang bertanggung jawab terhadap masalah administrasi adalah orang kedua
di kerjaan, sang wazir,
yang juga berperan sebagai perwakilan raja yang mengkordinir survey
tanah, kas negara, proyek pembangunan, sistem hukum, dan arsip-arsip
kerajaan.[65] Di level regional, kerajaan dibagi menjadi 42 wilayah administratif yang disebut nome, yang masing-masing dipimpin oleh seorang nomark,
yang bertanggung jawab kepada wazir. Kuil menjadi tulang punggung utama
perekonomian yang berperan tidak hanya sebagai pusat pemujaan, namun
juga berperan mengumpulkan dan menyimpan kekayaan negara dalam sebuah
sistem lumbung dan perbendaharaan dengan meredistribusi biji-bijian dan
barang-barang lainnya.[66]
Sebagian besar perekonomian diatur secara ketat dari pusat. Bangsa
Mesir Kuno belum mengenal uang koin hingga Periode Akhir sehingga mereka
menggunakan sejenis uang barter[67] berupa karung beras dan beberapa deben (satuan berat yang setara dengan 91 gram) tembaga atau perak sebagai denominatornya.[68]
Pekerja dibayar menggunakan biji-bijian; pekerja kasar biasanya hanya
mendapat 5 karung (200kg) biji-bijian per bulan sementara mandor bisa
mencapai 7 karung (250kg) per bulan. Harga tidak berubah di seluruh
wilayah negara dan biasanya dicatat utuk membantu perdagangan; misalnya
kaus dihargai 5 deben tembaga sementara sapi bernilai 140 deben.[68] Pada abad ke 5 sebelum masehi, uang koin mulai dikenal di Mesir. Awalnya koin digunakan sebagai nilai standar dari logam mulia dibanding sebagai uang yang sebenarnya; baru beberapa abad kemudian uang koin mulai digunakan sebagai standar perdagangan.[69]
Status sosial
Masyarakat Mesir Kuno ketika itu sangat terstratifikasi dan status sosial
yang dimiliki seseorang ditampilkan secara terang-terangan. Sebagian
besar masyarakat bekerja sebagai petani, namun demikian hasil pertanian
dimiliki dan dikelolah oleh negara, kuil, atau keluarga ningrat yang
memiliki tanah.[70] Petani juga dikenai pajak tenaga kerja dan dipaksa bekerja membuat irigasi atau proyek konstruksi menggunakan sistem corvée.[71]
Seniman dan pengrajin memunyai status yang lebih tinggi dari petani,
namun mereka juga berada di bawah kendali negara, bekerja di toko-toko
yang terletak di kuil dan dibayar langsung dari kas negara. Juru tulis
dan pejabat menempati strata tertinggi di Mesir Kuno, dan biasa disebut
"kelas kilt putih" karena menggunakan linen berwarna putih yang menandai
status mereka.[72] Perbudakan telah dikenal, namun bagaimana bentuknya belum jelas diketahui.[73]
Mesir Kuno memandang pria dan wanita, dari kelas sosial apa pun kecuali budak, sama di mata hukum.[74]
Baik pria maupun wanita memiliki hak untuk memiliki dan menjual
properti, membuat kontrak, menikah dan bercerai, serta melindungi diri
mereka dari perceraian dengan menyetujui kontrak pernikahan, yang dapat
menjatuhkan denda pada pasangannya bila terjadi perceraian. Dibandingkan
bangsa lainnya di Yunani, Roma, dan bahkan tempat-tempat lainnya di
dunia, wanita di Mesir Kuno memiliki kesempatan memilih dan meraih
sukses yang lebih luas. Wanita seperti Hatshepsut dan Celopatra bahkan
bisa menjadi firaun. Namun demikian, wanita di Mesir Kuno tidak dapat
mengambil alih urusan administrasi dan jarang yang memiliki pendidikan
dari rata-rata pria ketika itu.[74]
Sistem hukum
Sistem hukum di Mesir Kuno secara resmi dikepalai oleh firaun yang
bertanggung jawab membuat peraturan, menciptakan keadilan, serta menjaga
hukum dan ketentraman, sebuah konsep yang disebut masyarakat Mesir Kuno
sebagai Ma'at.[65]
Meskipun belum ada undang-undang hukum yang ditemukan, dokumen
pengadilan menunjukkan bahwa hukum di Mesir Kuno dibuat berdasarkan
pandangan umum tentang apa yang benar dan apa yang salah, serta
menekankan cara untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan konflik.[74]
Dewan sesepuh lokal, yang dikenal dengan nama Kenbet di Kerajaan Baru, bertanggung jawab mengurus persidangan yang hanya berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kecil.[65]
Kasus yang lebih besar termasuk di antaranya pembunuhan, transaksi
tanah dalam jumlah besar, dan pencurian makam diserahkan kepada Kenbet Besar
yang dipimpin oleh wazir atau firaun. Penggugat dan tergugat diharapkan
mewakili diri mereka sendiri dan diminta untuk bersumpah bahwa mereka
mengatakan yang sebenarnya.
Dalam beberapa kasus, negara berperan baik sebagai jaksa dan hakim,
serta berhak menyiksa terdakwa dengan pemukulan untuk mendapatkan
pengakuan dan nama-nama lain yang bersalah. Tidak peduli apakah tuduhan
itu sepele atau serius, juru tulis pengadilan mendokumentasikan keluhan,
kesaksian, dan putusan kasus untuk referensi pada masa mendatang.[75]
Hukuman untuk kejahatan ringan di antaranya pengenaan denda,
pemukulan, mutilasi di bagian wajah, atau pengasingan, tergantung kepada
beratnya pelanggaran. Kejahatan serius seperti pembunuhan dan
perampokan makam dikenakan hukuman mati seperti pemenggalan leher,
penenggelaman, atau penusukan. Hukuman juga bisa dikenakan kepada
keluarga penjahat.[65] Sejak pemerintahan Kerajaan Baru, oracle
memiliki peran penting dalam sistem hukum, baik pidana maupun perdata.
Prosedurnya adalah dengan memberikan pertanyaan "ya" atau "tidak" kepada
dewa terkait sebuah isu. Sang dewa, diwakili oleh sejumlah imam,
memberi keputusan dengan memilih salah satu jawaban, melakukan gerakan
maju atau mundur, atau menunjuk pada selembar papirus atau ostracon.[76]
Pertanian
Kondisi geografi yang mendukung dan tanah di tepi sungai Nil yang
subur membuat bangsa Mesir mampu memproduksi banyak makanan, dan
menghabiskan lebih banyak waktu dan sumber daya dalam pencapaian budaya,
teknologi, dan artistik. Pengaturan tanah sangat penting di Mesir Kuno
karena pajak dinilai berdasarkan jumlah tanah yang dimiliki seseorang.[77]
Pertanian di Mesir sangat bergantung kepada siklus sungai Nil. Bangsa Mesir mengenal tiga musim: Akhet (banjir), Peret (tanam), dan Shemu (panen). Musim banjir berlangsung dari Juni hingga September, menumpuk lanau
kaya mineral yang ideal untuk pertanian di tepi sungai. Setelah banjir
surut, musim tanam berlangsung dari Oktober hingga Februari. Petani
membajak dan menanam bibit di ladang. Irigasi dibuat dengan parit dan
kanal. Mesir hanya mendapat sedikit hujan, sehingga petani sangat
bergantung dengan sungai Nil dalam pengairan tanaman.[78] Dari Maret hingga Mei, petani menggunakan sabit untuk memanen. Selanjutnya, hasil panen dirontokan untuk memisahkan jerami dari gandum. Proses penampian
menghilangkan sekam dari gandum, lalu gandum ditumbuk menjadi tepung,
diseduh untuk membuat bir, atau disimpian untuk kegunaan lain.[79]
Bangsa Mesir menanam gandum emmer dan jelai, serta beberama gandum sereal lain, sebagai bahan roti dan bir.[80] Tanaman-tanaman Flax
ditanam dan diambil batangnya sebagai serat. Serat-serat tersebut
dipisahkan dan dipintal menjadi benang, yang selanjutnya digunakan untuk
menenun linen dan membuat pakaian. Papirus
ditanam untuk pembuatan kertas. Sayur-sayuran dan buah-buahan
dikembangkan di petak-petak perkebunan, dekat dengan permukiman, dan
berada di permukaan tinggi. Tanaman sayur dan buah tersebut harus diairi
dengan tangan. Sayur-sayuran meliputi bawang perai, bawang putih,
melon, squash, kacang, selada, dan tanaman-tanaman lain. Anggur juga ditanam untuk diolah menjadi wine.[81]
Hewan
Bangsa Mesir percaya bahwa hubungan yang seimbang antara manusia
dengan hewan merupakan elemen yang penting dalam susunan kosmos; maka
manusia, hewan, dan tumbuhan diyakini sebagai bagian dari suatu
keseluruhan.[82] Hewan, baik yang didomestikasi
maupun liar, merupakan sumber spiritualitas, persahabatan, dan rezeki
bagi bangsa Mesir Kuno. Sapi adalah hewan ternak yang paling penting;
pemerintah mengumpulkan pajak terhadap hewan ternak dalam sensus-sensus
reguler, dan ukuran ternak melambangkan martabat dan kepentingan
pemiliknya. Selain sapi, bangsa Mesir Kuno menyimpan domba, kambing, dan
babi. Unggas seperti bebek, angsa, dan merpati ditangkap dengan jaring
dan dibesarkan di peternakan. Di peternakan, unggas-unggas tersebut
dipaksa makan adonan agar semakin gemuk.[83]
Sementara itu, di sungai Nil terdapat sumber daya ikan. Lebah-lebah
juga didomestikasi dari masa Kerajaan Lama, dan hewan tersebut
menghasilkan madu dan lilin.[84]
Keledai dan lembu digunakan sebagai hewan pekerja.
Hewan-hewan tersebut bertugas membajak ladang dan menginjak-injak bibit
ke dalam tanah. Lembu-lembu yang gemuk dikorbankan dalam ritual
persembahan.[83]
Kuda-kuda dibawa oleh Hyksos pada Periode Menengah Kedua, sementara
unta, meskipun sudah ada sejak periode Kerajaan Baru, tidak digunakan
sebagai hewan pekerja hingga Periode Akhir. Selain itu, terdapat bukti
yang menunjukkan bahwa gajah sempat dimanfaatkan pada Periode Akhir, tetapi akhirnya dibuang karena kurangnya tanah untuk merumput.[83]
Anjing, kucing, dan monyet menjadi hewan peliharaan, sementara
hewan-hewan seperti singa yang diimpor dari jantung Afrika merupakan
milik kerajaan. Herodotus mengamati bahwa bangsa Mesir adalah satu-satunya bangsa yang menyimpan hewan di rumah mereka.[82] Selama periode pradinasti dan akhir, pemujaan dewa dalam bentuk hewan menjadi sangat populer, seperti dewi kucing Bastet dan dewa ibis Thoth, sehingga hewan-hewan tersebut dibesarkan dalam jumlah besar untuk dikorbankan dalam ritual.[85]
Sumber daya alam
Mesir kaya akan batu bangunan dan dekoratif, bijih tembaga dan timah,
emas, dan batu-batu semimulia. Kekayaan itu memungkinkan orang Mesir
Kuno untuk membangun monumen, memahat patung, membuat alat-alat, dan
perhiasan.[86] Pembalsem menggunakan garam dari Wadi Natrun untuk mumifikasi, yang juga menjadi sumber gypsum yang diperlukan untuk membuat plester.[87]
Batuan yang mengandung bijih besi dapat ditemukan di wadi-wadi gurun
timur dan Sinai yang kondisi alam yang tidak ramah. Membutuhkan
ekspedisi besar (biasanya dikontrol negara) untuk mendapatkan sumber
daya alam di sana. Terdapat sebuah tambang emas luas di Nubia, dan salah
satu peta pertama yang ditemukan adalah peta sebuah tambang emas di
wilayah ini. Wadi Hammamat adalah sumber penting granit, greywacke, dan emas. Rijang
adalah mineral yang pertama kali dikumpulkan dan digunakan untuk
membuat alat-alat, dan kapak Rijang adalah potongan awal yang
membuktikan adanya habitat manusia di lembah Sungai Nil. Nodul-nodul
mineral secara hati-hati dipipihkan untuk membuat bilah dan kepala panah
dengan tingkat kekerasan dan daya tahan yang sedang, dan ini tetap
bertahan bahkan setelah tembaga digunakan untuk tujuan tersebut.[88]
Perdagangan
Orang Mesir kuno berdagang dengan negeri-negeri tetangga untuk
memperoleh barang yang tidak ada di Mesir. Pada masa pra dinasti, mereka
berdagang dengan Nubia
untuk memperoleh emas dan dupa. Orang Mesir kuno juga berdagang dengan
Palestina, dengan bukti adanya kendi minyak bergaya Palestina di
pemakaman firaun Dinasti Pertama.[89] Koloni Mesir di Kanaan selatan juga berusia sedikit lebih tua dari dinasti pertama.[90] Firaun Narmer memproduksi tembikar Mesir di Kanaan, dan mengekspornya kembali ke Mesir.[91]
Paling lambat dari masa Dinasti Kedua, Mesir kuno mendapatkan kayu berkualitas tinggi (yang tak dapat ditemui di Mesir) dari Byblos. Pada masa Dinasti Kelima, Mesir kuno dan Punt memperdagangkan emas, damar, eboni, gading, dan binatang liar seperti monyet.[92] Mesir bergantung pada Anatolia
untuk memasok persediaan timah dan tembaga (keduanya merupakan bahan
baku untuk membuat perunggu). Orang Mesir kuno juga menghargai batu biru
lapis lazuli, yang harus diimpor dari Afganistan. Partner dagang Mesir di Laut Tengah meliputi Yunani dan Kreta, yang menyediakan minyak zaitun (selain barang-barang lainnya).[93]
Sebagai ganti impor bahan baku dan barang mewah, Mesir mengekspor
gandum, emas, linen, papirus, dan barang-barang jadi seperti kaca dan
benda-benda batu.[94]
Bahasa
Perkembangan historis
Bahasa Mesir adalah bahasa Afro-Asiatik yang berhubungan dekat dengan bahasa Berber dan Semit.[95] Bahasa ini memiliki sejarah bahasa terpanjang kedua (setelah Sumeria).
Bahasa Mesir telah ditulis sejak 3200 SM dan sudah dituturkan sejak
waktu yang lebih lama. Fase-fase pada bahasa Mesir Kuno adalah bahasa Mesir Lama, Pertengahan, Akhir, Demotik, dan Koptik.[96]
Tulisan Mesir tidak menunjukkan perbedaan dialek sebelum Koptik, tetapi
mungkin dituturkan dalam dilek-dialek regional di sekitar Memphis dan
nantinya Thebes.[97]
Kesusasteraan
Tulisan pertama kali ditemukan di lingkungan kerajaan, terutama pada
barang-barang di makam keluarga kerajaan. Pekerjaan menulis biasanya
hanya diberikan kepada orang-orang tertentu yang juga menjalankan
institusi Per Ankh atau Rumah Kehidupan, serta perpustakaan (disebut Rumah Buku), laboratorium, dan observatorium.[98]
Karya-karya literatur yang terkenal sebagian ditulis dalam bahasa Mesir
Klasik, yang terus digunakan secara bahasa tertulis hingga sekitar
tahun 1300 SM. Bahasa Mesir Akhir mulai digunakan mulai masa Kerajaan
Baru sebagai mana direpresentasikan dalam dokumen administratif Ramses,
puisi dan kisah cinta, serta teks-teks Demotik dan Koptik. Selama
periode ini, berkembang tradisi menulis autografi di makam. Genre ini
dikenal sebagai Sebayt (instruksi) dan dikembangkan sebagai usaha untuk menurunkan ajaran dan tuntunan bangsawan terkenal.
Kisah Sinuhe yang ditulis dalam bahasa Mesir Pertengahan juga dapat dikategorikan sebagai literatur Mesir klasik.[99] Contoh lainnya adalah Instruksi Amenemope yang dianggap sebagai mahakarya dalam dunia literatur timur tengah.[100] Di masa akhir Kerajaan Baru, Bahasa Mesir Akhir lebih banyak digunakan untuk menulis seperti yang terlihat pada Cerita Wenamun dan Instruksi Any.
Cerita Wenamun menceritakan kisah tentang bangsawan yang dirampok dalam
perjalanannya untuk membeli cedar dari Lebanon dan perjuangannya
kembali ke Mesir. Sejak 700 SM, cerita naratif dan instruksi, seperti
misalnya Instruksi Onchshesonqy, dan dokumen-dokumen bisnis ditulis
dalam bahasa Demotik).
Banyak cerita pada masa Yunani-Romawi juga dalam bahasa Demotik, dan
biasanya memiliki setting pada masa-masa ketika Mesir merdeka di bawah
kekuasaan Firaun agung seperti Ramses II.[101]
Tulisan
Tulisan hieroglif terdiri dari sekitar 500 simbol. Sebuah hieroglif
dapat mewakili kata atau suara. Simbol yang sama dapat menyajikan tujuan
yang berbeda dalam konteks yang berbeda pula. Hieroglif adalah aksara
resmi, digunakan pada monumen batu dan kuburan. Pada penulisan sehari
hari, juru tulis membuat tulisan kursif, yang disebut keramat. Tulisan
kursif ini lebih cepat dan mudah. Sementara hieroglif formal dapat
dibaca dalam baris atau kolom di kedua arah (walaupun biasanya ditulis
dari kanan ke kiri), aksara keramat selalu ditulis dari kanan ke kiri,
biasanya pada baris horisontal. Sebuah bentuk baru penulisan, demotik,
menjadi gaya penulisan umum, dan inilah bentuk tulisan -bersama dengan
hieroglif formal - yang menyertai teks Yunani di Batu Rosetta.
Sekitar abad ke-1 Masehi, aksara Koptik mulai digunakan bersama
aksara demotik. Koptik adalah modifikasi abjad Yunani dengan penambahan
beberapa tanda-tanda demotik.[102]
Meskipun hieroglif formal digunakan dalam acara seremonial hingga abad
ke-4, menjelang akhir abad hanya segelintir kecil imam yang masih bisa
membacanya. Akibat institusi keagamaan tradisional dibubarkan,
pengetahuan tulisan hieroglif semakin menghilang. Usaha untuk
mengartikannya muncul pada masa Bizantium[103] dan Islam di Mesir,[104] tetapi baru pada tahun 1822, setelah penemuan batu Rosetta dan penelitian oleh Thomas Young dan Jean-François Champollion, hieroglif baru dapat diartikan.[105]
Budaya
Kehidupan sehari-hari
Sebagian besar masyarakat Mesir Kuno bekerja sebagai petani. Kediaman mereka terbuat dari tanah liat
yang didesain untuk menjaga udara tetap dingin di siang hari. Setiap
rumah memiliki dapur dengan atap terbuka. Di dapur itu biasanya terdapat
batu giling untuk menggiling tepung dan oven kecil untuk membuat roti.[106]
Tembok dicat warna putih dan beberapa juga ditutupi dengan hiasan
berupa linen yang diberi warna. Lantai ditutupi dengan tikar buluh
dilengkapi dengan furnitur sederhana untuk duduk dan tidur.[107]
Bangsa Mesir Kuno sangat menghargai penampilan dan kebersihan tubuh.
Sebagian besar mandi di Sungai Nil dan menggunakan sabun yang terbuat
dari lemak
binatang dan kapur. Laki-laki bercukur untuk menjaga kebersihan,
menggunakan minyak wangi dan salep untuk mengharumkan dan menyegarkan
kulit.[108]
Pakaian dibuat dengan linen sederhana yang diberi warna putih, baik
wanita maupun pria di kelas yang lebih elit menggunakan wig, perhiasan,
dan kosmetik. Anak-anak tidak mengenakan pakaian hingga mereka dianggap
dewasa, pada usia sekitar 12 tahun, dan pada usia ini laki-laki disunat
dan dicukur. Ibu bertanggung jawab menjaga anaknya, sementara sang ayah
bertugas mencari nafkah.[109]
Musik dan tarian menjadi hiburan yang paling populer bagi mereka yang
mampu membayar untuk melihatnya. Instrumen yang digunakan antara lain
seruling dan harpa, juga instrumen yang mirip terompet juga digunakan.
Pada masa Kerajaan Baru, bangsa Mesir memainkan bel, simbal, tamborine,
dan drum serta mengimpor kecapi dan lira dari Asia.[110] Mereka juga menggunakan sistrum, instrumen musik yang biasa digunakan dalam upacara keagamaan.
Bangsa Mesir Kuno mengenal berbagai macam hiburan, permainan dan musik, salah satunya adalah Senet, permainan papan yang bidaknya digerakkan dalam urutan acak. Selain itu mereka juga mengenal mehen.
Juggling dan permainan menggunakan bola juga sering dimainkan
anak-anak, juga permainan gulat sebagaimana digambarkan dalam makam Beni Hasan.[111] Orang-orang kaya di Mesir Kuno juga gemar berburu dan berlayar untuk hiburan.
Masakan
Masakan Mesir cenderung tidak berubah selama berabad-abad; Masakan
Mesir modern memiliki banyak persamaan dengan Masakan Mesir Kuno.
Makanan sehari-hari biasanya mengandung roti dan bir, dengan lauk berupa
sayuran seperti bawang merah dan bawang putih, serta buah-buahan
berbentuk biji dan ara. Wine dan daging biasanya hanya disajikan pada
perayaan tertentu, kecuali di kalangan orang kaya yang lebih sering
menyantapnya. Ikan, daging, dan unggas dapat diasinkan atau dikeringkan,
serta direbus atau dibakar.[112]
Arsitektur
Karya arsitektur bangsa Mesir Kuno yang paling terkenal antara lain: Piramida Giza dan kuil di Thebes.
Proyek pembangunan dikelola dan didanai oleh pemerintah untuk tujuan
religius, sebagai bentuk peringatan, maupun untuk menunjukkan kekuasaan
firaun. Bangsa Mesir Kuno mampu membangun struktur batu dengan peralatan
sederhana namun efektif, dengan tingkat akurasi dan presisi yang
tinggi.[113]
Kediaman baik untuk kalangan elit maupun masyarakat biasa dibuat dari
bahan yang mudah hancur seperti batu bata dan kayu, karenanya tidak ada
satu pun yang terisa saat ini. Kaum tani tinggal di rumah sederhana, di
sisi lain, rumah kaum elit memiliki struktur yang rumit. Beberapa
istana Kerajaan Baru yang tersisa, seperti yang terletak di Malkata dan Amarna, menunjukkan tembok dan lantai yang dipenuhi hiasan dengan gambar pemandangan yang indah.[114] Struktur penting seperti kuil atau makam dibuat dengan batu agar dapat bertahan lama.
Kuil-kuil tertua yang tersisa, seperti yang terletak di Giza, terdiri
dari ruang tunggal tertutup dengan lembaran atap yang didukung oleh
pilar. Pada Kerajaan Baru, arsitek menambahkan pilon, halaman terbuka, dan ruangan hypostyle; gaya ini bertahan hingga periode Yunani-Romawi.[115] Arsitektur makam tertua yang berhasil ditemukan adalah mastaba,
struktur persegi panjang dengan atap datar yang terbuat dari batu dan
bata. Struktur ini biasanya dibangun untuk menutupi ruang bawah tanah
untuk menyimpan mayat.[116]
Seni
Bangsa Mesir Kuno memproduksi seni untuk berbagai tujuan. Selama 3500
tahun, seniman mengikuti bentuk artistik dan ikonografi yang
dikembangkan pada masa Kerajaan Lama. Aliran ini memiliki
prinsip-prinsip ketat yang harus diikuti, mengakibatkan bentuk aliran
ini tidak mudah berubah dan terpengaruh aliran lain.[117]
Standar artistik—garis-garis sederhana, bentuk, dan area warna yang
datar dikombinasikan dengan karakteristik figure yang tidak memiliki
kedalaman spasial—menciptakan rasa keteraturan dan keseimbangan dalam
komposisinya. Perpaduan antara teks dan gambar terjalin dengan indah
baik di tembok makam dan kuil, peti mati, maupun patung.[118]
Seniman Mesir Kuno dapat menggunakan batu dan kayu sebagai bahan
dasar untuk memahat. Cat didapatkan dari mineral seperti bijih besi
(merah dan kuning), bijih perunggu (biru dan hijau), jelaga atau arang
(hitam), dan batu kapur (putih). Cat dapat dicampur dengan gum arab sebagai pengikat dan ditekan (press), disimpan untuk kemudian diberi air ketika hendak digunakan.[119] Firaun menggunakan relief
untuk mencatat kemenangan di pertempuran, dekrit kerajaan, atau
peristiwa religius. Di masa Kerajaan Pertengahan, model kayu atau tanah
liat yang menggambarkan kehidupan sehari-hari menjadi populer untuk
ditambahkan di makam. Sebagai usaha menduplikasi aktivitas hidup di
kehidupan setelah kematian, model ini diberi bentuk buruh, rumah,
perahu, bahkan formasi militer.[120]
Meskipun bentuknya hampir homogen, pada waktu tertentu gaya karya
seni Mesir Kuno terkadang mengikuti perubahan kultural atau perilaku
politik. Setelah invasi Hykos di Periode Pertengahan Kedua, seni dengan
gaya Minoa ditemukan di Avaris.[121]
Salah satu contoh perubahan gaya akibat adanya perubahan politik yang
menonjol adalah bentuk artistik yang dibuat pada masa Amarna:
patung-patung disesuaikan dengan gaya pemikiran religius Akhenaten. Gaya ini, yang dikenal sebagai seni Amarna, langsung diganti dan dibuah ke bentuk tradisional setelah kematian Akhenaten.[122]
Agama dan kepercayaan
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan adanya kehidupan setelah
kematian dipegang secara turun temurun. Kuil-kuil diisi oleh dewa-dewa
yang memiliki kekuatan supernatural dan menjadi tempat untuk meminta
perlindungan, namun dewa-dewa tidak selalu dilihat sebagai sosok yang
baik; orang mesir percaya dewa-dewa perlu diberi sesajen agar tidak
mengeluarkan amarah. Struktur ini dapat berubah, tergantung siapa yang
berkuasa ketika itu.
Dewa-dewa disembah dalam sebuah kuil yang dikelola oleh seorang imam.
Di bagian tengah kuil biasanya terdapat patung dewa. Kuil tidak
dijadikan tempat beribadah untuk publik, dan hanya pada hari-hari
tertentu saja patung di kuil itu dikeluarkan untuk disembah oleh
masyarakat. Masyarakat umum beribadah memuja patung pribadi di rumah
masing-masing, dilengkapi jimat yang dipercaya mampu melindungi dari
marabahaya.[123]
Setelah Kerajaan Baru, peran firaun sebagai perantara spiritual mulai
berkurang seiring dengan munculnya kebiasaan untuk memuja langsung
tuhan, tanpa perantara. Di sisi lain, para imam mengembangkan sistem
ramalan (oracle) untuk mengkomunikasikan langsung keinginan dewa kepada masyarakat.[124]
Masyarakat mesir percaya bahwa setiap manusia terdiri dari bagian fisik dan spiritual. Selain badan, manusia juga memiliki šwt (bayangan), ba (kepribadian atau jiwa), ka (nyawa), dan nama.[125]
Jantung dipercaya sebagai pusat dari pikiran dan emosi. Setelah
kematian, aspek spiritual akan lepas dari tubuh dan dapat bergerak
sesuka hati, namun mereka membutuhkan tubuh fisik mereka (atau dapat
digantikan dengan patung) sebagai tempat untuk pulang. Tujuan utama
mereka yang meninggal adalah menyatukan kembali ka dan ba
dan menjadi "arwah yang diberkahi." Untuk mencapai kondisi itu, mereka
yang mati akan diadili, jantung akan ditimbang dengan "bulu kejujuran."
Jika pahalanya cukup, sang arwah diperbolehkan tetap tinggal di bumi
dalam bentuk spiritual.[126]
Adat pemakaman
Orang Mesir Kuno mempertahankan seperangkat adat pemakaman yang
diyakini sebagai kebutuhan untuk menjamin keabadian setelah kematian.
Berbagai kegiatan dalam adat ini adalah : proses mengawetkan tubuh
melalui mumifikasi,
upacara pemakaman, dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan
digunakan oleh almarhum di akhirat. Sebelum periode Kerajaan Lama,
tubuh mayat dimakamkan di dalam lubang gurun, cara ini secara alami akan
mengawetkan tubuh mayat melalui proses pengeringan. Kegersangan dan
kondisi gurun telah menjadi keuntungan sepanjang sejarah Mesir Kuno bagi
kaum miskin yang tidak mampu mempersiapkan pemakaman sebagaimana halnya
orang kaya. Orang kaya mulai menguburkan orang mati di kuburan batu,
akibatnya mereka memanfaatkan mumifikasi buatan, yaitu dengan mencabut
organ internal, membungkus tubuh menggunakan kain, dan meletakkan mayat
ke dalam sarkofagus
berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Pada permulaan
dinasti keempat, beberapa bagian tubuh mulai diawetkan secara terpisah
dalam toples kanopik.[127]
Pada periode Kerajaan Baru, orang Mesir Kuno telah menyempurnakan
seni mumifikasi. Teknik terbaik pengawetan mumi memakan waktu kurang
lebih 70 hari lamanya, selama waktu tersebut secara bertahap dilakukan
proses pengeluaran organ internal, pengeluaran otak melalui hidung, dan
pengeringan tubuh menggunakan campuran garam yang disebut natron.
Selanjutnya tubuh dibungkus menggunakan kain, pada setiap lapisan kain
tersebut disisipkan jimat pelindung, mayat kemudian diletakkan pada peti
mati yang disebut antropoid. Mumi periode akhir diletakkan pada laci
besar cartonnage yang telah dicat. Praktik pengawetan mayat asli mulai
menurun sejak zaman Ptolemeus dan Romawi, pada zaman ini masyarakat
mesir kuno lebih menitikberatkan pada tampilan luar mumi.[128]
Orang kaya Mesir dikuburkan dengan jumlah barang mewah yang lebih
banyak. Tradisi penguburan barang mewah dan barang-barang sebagai bekal
almarhum juga berlaku pada semua masyarakat tanpa memandang status
sosial. Pada permulaan Kerajaan Baru, buku kematian ikut disertakan di kuburan, bersamaan dengan patung shabti yang dipercaya akan membantu pekerjaan mereka di akhirat.[129]
Setelah pemakaman, kerabat yang masih hidup diharapkan untuk sesekali
membawa makanan ke makam dan mengucapkan doa atas nama almarhum.[130]
Militer
Angkatan perang Mesir kuno bertanggung jawab untuk melindungi Mesir dari serangan asing, dan menjaga kekuasaan Mesir di Timur Dekat Kuno.
Tentara Mesir kuno melindungi ekspedisi penambangan ke Sinai pada masa
Kerajaan Lama, dan terlibat dalam perang saudara selama Periode Menengah
Pertama dan Kedua. Angkatan perang Mesir juga bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan terhadap jalur perdagangan penting, seperti kota
Buhen pada jalan menuju Nubia. Benteng-benteng juga didirikan, seperti benteng di Sile, yang merupakan basis operasi penting untuk melancarkan ekspedisi ke Levant. Pada masa Kerajaan Baru, firaun menggunakan angkatan perang Mesir untuk menyerang dan menaklukan Kerajaan Kush dan sebagian Levant.[131]
Peralatan militer yang digunakan pada masa itu adalah panah, tombak,
dan perisai berbahan dasar kerangka kayu dan kulit binatang. Pada masa
Kerajaan Baru, angkatan perang mulai menggunakan kereta perang
yang awalnya diperkenalkan oleh penyerang dari Hyksos. Senjata dan baju
zirah terus berkembang setelah penggunaan perunggu: perisai dibuat dari
kayu padat dengan gesper perunggu, ujung tombak dibuat dari perunggu,
dan Khopesh (berasal dari tentara Asiatik) mulai digunakan.[132]
Tentara direkrut dari penduduk biasa; namun, selama dan terutama
sesudah masa Kerajaan Baru, tentara bayaran dari Nubia, Kush, dan Libya
dibayar untuk membantu Mesir.[133]
Teknologi, pengobatan, dan matematika
Teknologi
Dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan matematika, Mesir kuno telah
mencapai standar yang relatif tinggi dan canggih pada masanya. Empirisme tradisional, sebagaimana dibuktikan oleh Papirus Edwin Smith dan Ebers (c. 1600 SM), ditemukan oleh bangsa Mesir. Bangsa Mesir kuno juga diketahui menciptakan alfabet dan sistem desimal mereka sendiri.
Tembikar glasir bening dan kaca
Bahkan sebelum masa keemasan di bawah kekuasaan Kerajaan Lama, bangsa Mesir kuno telah mampu mengembangkan sebuah material kilap yang dikenal sebagai tembikar glasir bening, yang dianggap sebagai bahan artifisial yang cukup berharga. Tembikar glasir bening adalah keramik yang terbuat dari silika, sedikit kapur dan soda, serta bahan pewarna, biasanya tembaga.[134]
Tembikar glasir bening digunakan untuk membuat manik-manik, ubin, arca,
dan lainnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menciptakan
tembikar glasir bening, namun yang sering digunakan adalah menaruh
bahan baku yang telah diolah menjadi pasta di atas tanah liat, kemudian
membakarnya. Dengan teknik yang sama, bangsa Mesir kuno juga dapat
memproduksi sebuah pigmen yang dikenal sebagai Egyptian Blue, yang diproduksi dengan menggabungkan silika, tembaga, kapur dan sebuah alkali seperti natron.[135]
Bangsa mesir kuno juga mampu membuat berbagai macam objek dari kaca,
namun tidak jelas apakah mereka mengembangkan teknik itu sendiri atau
bukan.[136]
Tidak diketahui pula apakah mereka membuat bahan dasar kaca sendiri
atau mengimpornya, untuk kemudian dilelehkan dan dibentuk, namun mereka
dipastikan memiliki kemampuan teknis untuk membuat objek dan menambahkan
elemen mikro untuk mengontrol warna dari kaca tersebut. Banyak warna
yang dapat mereka ciptakan, termasuk di antaranya kuning, merah, hijau,
biru, ungu, putih, dan transparan.[137]
Pengobatan
Permasalahan medis di Mesir kuno kebanyakan berasal dari kondisi
lingkungan di sana. Hidup dan bekerja di dekat sungai Nil mengakibatkan
mereka terancam penyakit seperti malaria dan parasit schistosomiasis,
yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan dan pencernaan. Binatang
berbahaya seperti buaya dan kuda nil juga menjadi ancaman. Cidera akibat
pekerjaan yang sangat berat, terutama dalam bidang konstruksi dan
militer, juga sering terjadi. Kerikil dan pasir di tepung (muncul akibat
proses pembuatan tepung yang belum canggih) merusak gigi, sehingga
menyebabkan mereka mudah terserang abses.[138]
Hidangan yang dimakan orang kaya di Mesir kuno biasanya mengandung banyak gula, yang mengakibatkan banyaknya penyakit periodontitis.[139]
Meskipun di dinding-dinding makam kebanyakan orang kaya digambarkan
memiliki tubuh yang kurus, berat badan mumi mereka menunjukkan bahwa
mereka hidup secara berlebihan. [140] Harapan hidup orang dewasa berkisar antara 35 tahun untuk laki-laki dan 30 tahun untuk wanita.[141]
Tabib-tabib Mesir Kuno termasyhur dengan kemampuan pengobatan mereka dan beberapa, seperti Imhotep, tetap dikenang meskipun telah lama meninggal. [142] Herodotus
mengatakan bahwa terdapat pembagian spesialisasi yang tinggi di antara
tabib-tabib Mesir; misalnya beberapa tabib hanya mengobati permasalahan
pada kepala atau perut, sementara yang lain hanya mengobati masalah mata
atau gigi.[143] Pelatihan untuk tabib terletak di Per Ankh atau institusi "Rumah Kehidupan," yang paling terkenal terletak di Per-Bastet semasa Kerajaan Baru dan di Abydos serta Saïs di Periode Akhir. Sebuah papirus medis menunjukkan bahwa bangsa Mesir memiliki pengetahuan empiris soal anatomi, luka, dan perawatannya.[144]
Luka-luka dirawat dengan cara membungkusnya dengan daging mentah,
linen putih, jahitan, jaring, blok, dan kain yang dilumuri madu untuk
mencegah infeksi.[145]
Mereka juga menggunakan opium untuk mengurangi rasa sakit. Bawang putih
maupun merah dikonsumsi secara rutin untuk menjaga kesehatan dan
dipercaya dapat mengurangi gejala asma.
Ahli bedah mesir mampu menjahit luka, memperbaiki tulang yang patah,
dan melakukan amputasi. Mereka juga mengetahui bahwa ada beberapa luka
yang sangat serius sehingga yang dapat mereka lakukan hanyalah mebuat
pasien merasa nyaman menjelang ajalnya.[146]
Pembuatan kapal
Bangsa Mesir kuno telah tahu bagaimana merakit papan kayu menjadi lambung kapal sejak tahun 3000 SM. Archaeological Institute of America melaporkan[5] bahwa beberapa kapal tertua yang pernah ditemukan berjenis kapal Abydos. Kapal-kapal yang ditemukan di Abydos ini dibuat dari papan kayu yang "dijahit" menggunakan tali pengikat.[147][5] Awalnya kapal-kapal tersebut diperkirakan sebagai milik Firaun Khasekhemwy karena ditemukan dikubur bersama dan berada di dekat kamar mayat Firaun Khasekhemwy[147],
namun penelitian menunjukkan bawa kapal-kapal itu lebih tua dari usia
sang firaun, sehingga kini diperkirakan sebagai kapal milik firaun yang
lebih terdahulu. Menurut profesor David O'Connor dari New York University, kapal-kapal itu kemungkinan merupakan kapal milik Firaun Aha.[147]
Namun meskipun bangsa Mesir Kuno memiliki kemampuan untuk membuat
kapal yang sangat besar dan mudah dikendalikan di atas sungai Nil,
mereka tidak dikenal sebagai pelaut yang handal.
Matematika
Perhitungan matematika tertua yang ditemukan berasal dari periode Naqada, yang juga menunjukkan bahwa bangsa Mesir ketika itu telah mengembangkan sistem bilangan.[148]
Nilai penting matematika bagi seorang intelektual kala itu digambarkan
dalam sebuah surat fiksi dari zaman Kerajaan Baru. Pada surat itu,
penulisnya mengusulkan untuk mengadakan kompetisi antara dirinya dan
ilmuwan lain berkenaan masalah penghitungan sehari-hari seperti
penghitungan tanah, tenaga kerja, dan padi.[149] Teks seperti Papirus Matematika Rhind dan Papirus Matematika Moskwa
menunjukkan bahwa bangsa Mesir Kuno dapat menghitung empat operasi
matematika dasar — penambahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian —
menggunakan pecahan, menghitung volume kubus dan piramid, serta
menghitung luas kotak, segitiga, lingkaran, dan bola. Mereka memahami
konsep dasar aljabar dan geometri, serta mampu memecahkan persamaan simultan.[150]
2⁄3 dalam hieroglif |
||
|
Notasi matematika Mesir Kuno bersifat desimal (berbasis 10) dan
didasarkan pada simbol-simbol hieroglif untuk tiap nilai perpangkatan 10
(1, 10, 100, 1000, 10000, 100000, 1000000) sampai dengan sejuta.
Tiap-tiap simbol ini dapat ditulis sebanyak apapun sesuai dengan
bilangan yang diinginkan; sehingga untuk menuliskan bilangan delapan
puluh atau delapan ratus, simbol 10 atau 100 ditulis sebanyak delapan
kali.[151]
Karena metode perhitungan mereka tidak dapat menghitung pecahan dengan
pembilang lebih besar daripada satu, pecahan Mesir Kuno ditulis sebagai
jumlah dari beberapa pecahan. Sebagai contohnya, pecahan dua per tiga
(2/3) dibagi menjadi jumlah dari 1/3 + 1/15; proses ini dibantu oleh
tabel nilai [pecahan] standar.[152] Beberapa pecahan ditulis menggunakan glif khusus; nilai yang setara dengan 2/3 ditunjukkan oleh gambar di samping.[153]
Matematikawan Mesir Kuno telah mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari teorema Pythagoras.[154] Mereka juga dapat memperkirakan luas lingkaran dengan mengurangi satu per sembilan diameternya dan memangkatkan hasilnya:
Peninggalan
Budaya dan monumen Mesir kuno telah menjadi peninggalan sejarah yang abadi. Pemujaan terhadap dewi Isis, sebagai contoh, menjadi populer pada masa Kekaisaran Romawi.[156] Orang Romawi juga mengimpor bahan bangunan dari Mesir untuk mendirikan struktur dengan gaya Mesir. Sejarawan seperti Herodotus, Strabo dan Diodorus Siculus mempelajari dan menulis tentang Mesir kuno yang kemudian dipandang sebagai tempat yang penuh misteri.[157] Di Abad Pertengahan dan Renaissance, perkembangan budaya pagan Mesir mulai menurun seiring dengan berkembangnya agama Kristen dan Islam, namun ketertarikan terhadap budaya tersebut masih tersirat dalam karya-karya ilmuwan abad pertengahan, misalnya karya Dhul-Nun al-Misri dan al-Maqrizi.[158]
Pada abad ke-17 dan 18, penjelajah dan turis Eropa membawa banyak
barang antik dan menulis tentang kisah perjalanan mereka di Mesir, yang
kemudian memancing terjadinya gelombang Egyptomania
di Eropa. Ketertarikan tersebut mengakibatkan banyaknya kolektor Eropa
yang membeli atau membawa barang-barang antik penting dari Mesir.[159] Meskipun penjajahan kolonial
Eropa terhadap mesir mengakibatkan hancurnya benda-benda bersejarah,
kehadiran bangsa Eropa juga dampak positif terhadap peninggalan Mesir
kuno. Napoleon, misalnya, melakukan pembelajaran pertama mengenai Egiptologi
ketika ia membawa 150 ilmuwan dan seniman untuk mempelajari dan
mendokumentasi sejarah alam Mesir, yang kemudian dipublikasi dalam Description de l'Ėgypte.[160]
Pada abad ke-20, pemerintah Mesir dan arkeolog mulai melakukan
pengawasan terhadap kegiatan penggalian di Mesir dengan membentuk Supreme Council of Antiquities.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar